Sebuah rongsokan pesawat pembom He-111 Luftwaffe yang disamarkan dengan lambang Angkatan Udara Irak. Pesawat ini dihancurkan oleh sebuah serangan udara RAF di Syria,
Pada tahun 1932, Inggris memberikan kemerdekaan kepada Irak se¬hingga menjadikannya sebagai bekas wilayah jajahan Turki pertama di Timur Tengah yang memperoleh kemerdekaan. Akan tetapi, karena Basra dan Baghdad dipandang penting sebagai suatu jalur udara dan darat yang menghubungkan jajahan Inggris di India dengan Palestina dan Terusan Suez, diadakan suatu perjanjian dengan pemerintahan Irak yang mengizinkan pasukan Persemakmuran untuk melakukan transit serta memberikan bantuan kepada Inggris, “termasuk penggunaan jalur kereta api, sungai, pelabuhan, dan lapangan terbang” apabila terjadi peperangan. Irak juga diwajibkan un¬tuk mengamankan jalur pipa minyak yang membentang dari ladang-ladang minyak di Mosul dan Kirkuk di utara Irak ke Haifa di Laut Tengah. Pada tahun 1937, kehadiran militer Inggris di Negeri 1001 Malam itu dikurangi hingga hanya pada dua pangkalan angkatan udara Inggris (RAF)—satu di Shaibah, di dekat Basra, sementara yang lainnya di Habbaniya, yang terletak di tepi Sungai Eufrat di dekat Baghdad.
Negeri Penuh Intrik
Sekalipun demikian, sentimen anti-Inggris tetap bergejolak, terutama di kalangan tentara, di mana para perwiranya membenci pengaruh asing dan tersinggung karena penolakan Inggris untuk menyediakan persen¬jataan bagi mereka serta menentang emigrasi kaum Yahudi ke Palestina. Di¬nasti Hashemit yang berkuasa di Irak sendiri tidak memiliki pengaruh karena berasal dari luar negeri, yaitu dari wilayah Arab Saudi sekarang. Dinasti itu sendiri semakin diperlemah karena berhubungan dengan Inggris dan benar-benar tergantung pada angkatan darat untuk menjaga ketertiban, khususnya setelah mereka menindas pemberontakan orang Assiria pada tahun 1933 serta berbagai pemberontakan kesukuan yang terjadi antara tahun 1935-36. Dalam keadaan yang kacau ini, para perwira Irak membentuk sebuah orga-¬nisasi rahasia yang dikenal sebagai Taman Emas dan mengawasi gerak-gerik monarki yang bersikap pro-Inggris. Sikap yang tidak memercayai Inggris itu menyebabkan banyak orang Irak menuduh bahwa kecelakaan mobil yang menewaskan Raja Ghazi pada tahun 1939 merupakan ulah para agen Ing¬gris. Kematian sang raja sendiri kemudian membuka jalan bagi Taman Emas untuk bertindak sebagai wasit utama yang menentukan penguasa di negeri tersebut.
Ketika Perang Dunia II pecah, sesuai dengan ketentuan dari perjan¬jian yang ditandatanganinya dengan Inggris, Irak memutuskan hubungan diplomatik dengan Jerman. Namun pemerintahan raja baru Irak yang ma¬sih berusia empat tahun, yang diatur oleh pamannya yang bertindak sebagai wali, terbukti tidak efektif dalam menghadapi unsur-unsur pro-Poros dalam pemerintahan Irak yang dipimpin oleh Rashid Ali al-Gaylani, seorang bekas ketua parlemen dan menteri dalam negeri yang pro-Jerman.
Pada tanggal 31 Maret 1940, Rashid Ali diangkat sebagai perdana menteri Irak menggantikan Nuri as Said yang pro-Inggris. Sikap pro-Poros Rashid Ali segera terlihat ketika pemerintah Irak bersikeras menentang tuntutan Ing¬gris untuk memutuskan hubungan dengan rezim Fasis Italia saat Italia ikut berperang di pihak Jerman pada bulan Juni 1940. Karena itu, perwakilan Italia di Baghdad menjadi pusat utama bagi propaganda pro-Poros di Timur Tengah. Dalam hal ini, mereka dibantu oleh Mufti Yerusalem, Haji Amin el-Husseini, yang telah diasingkan ke Baghdad setelah mengobarkan pemberontakan di Palestina pada akhir dasawarsa 1930-an.
Menyerahnya Prancis dan kedatangan Komisi Gencatan Senjata Poros di Syria membuat pamor Inggris di Timur Tengah merosot tajam. Namun ketika Rashid Ali mulai menganjurkan pembatasan terhadap gerakan pasukan Inggris di Irak, kebijakan itu mendapat tentangan keras dari Nuri as Said yang pro-Inggris. Akhirnya, Nuri as Said berhasil memaksa Rashid Ali mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri.
Kudeta Rashid Ali
Sayangnya, kemenangan Nuri as Said berumur pendek. Gabungan an¬tara nasionalisme Arab di kalangan para perwira Irak, intrik dan propaganda Mufti Yerusalem, serta ketegangan yang diakibatkan oleh sikap Rashid Ali yang anti-Inggris menyebabkan Irak terjerumus dalam perpecahan yang mengarah pada suatu perang saudara. Akhirnya, pada tanggal 3 April 1941, sehari setelah Marsekal Rommel memulai serangannya di Libya timur, Rashid Ali mengadakan kudeta militer yang didukung oleh kelompok Ta¬man Emas dan Mufti Yerusalem sehingga memaksa Nuri as Said maupun wali negara melarikan diri ke Transjordan. Rashid Ali kemudian memproklamasikan suatu Pemerintahan Pertahanan Nasional. Setelah itu dia mengirimkan nota kepada duta besar Inggris yang menuntut agar Inggris tidak ikut campur dengan urusan dalam negeri Irak dan mengirimkan pasukan ke Basra untuk mencegah pendaratan pasukan Inggris di wilayah tersebut.
Hitler menyambut bekas PM Irak Rashid Ali di markas besarnya di Prusia Timur setelah ditumpasnya pemberontakan di Irak oleh Inggris.
Jatuhnya pemerintahan di Irak membuat Inggris menghadapi sebuah masalah besar. Sikap bermusuhan Irak membahayakan suplai minyak bagi Kemaharajaan tersebut dan mengancam posisi Inggris di Arabia. Bala bantuan pun segera dikirimkan ke Irak dari Mesir dan India—pelanggaran terhadap perjanjian yang diadakan Inggris dan Irak sebelumnya, yang membatasi jumlah pasukan Inggris di tanah Irak. Pada tanggal 28 April 1941, Rashid Ali menolak mengizinkan dua kapal pengangkut pasukan tambahan untuk mendarat di Basra sebelum kontingen pertama Inggris, yang telah mendarat pada tanggal 18 April, meninggalkan negeri itu.
Pecahnya Perang Irak-Inggris
Ketika Inggris tetap mendaratkan pasukannya sekalipun dipro¬tes Perdana Menteri Irak, 9.000 prajurit Irak, yang didu-kung oleh artileri, menduduki dataran tinggi yang meng¬awasi lapangan ter¬bang milik Inggris di Habbaniya, sekitar 105 kilometer di sebelah barat Baghdad. Pada tanggal 1 Mei, Irak mengirimkan meriam tambahan ke posisi mereka dan meng-ancam untuk menembaki setiap pra¬jurit maupun pesawat terbang yang berusaha meninggalkan pang¬kalan tersebut. Ing¬gris kemudian mengeluarkan maklumat bahwa mereka akan menganggap setiap gangguan oleh pasukan Rashid Ali sebagai suatu undangan perang. Akibatnya, pihak Irak berjanji tidak akan mulai menembak. Sikap tidak tegas Rashid Ali ini kemu-dian menyebabkan kejatuhannya.
Pada malam tanggal 1 Mei, Marsekal Udara Smart, Panglima Angkatan Udara Inggris di Irak, memutuskan untuk bertindak. Sebuah telegram dari Perdana Menteri Inggris Winston Churchill yang berisi perkataan ”Jika kau ingin menyerang, se¬rang¬lah habis-habisan”, menguatkan tekad Smart untuk ber¬tindak. Pada saat fajar tanggal 2 Mei, Inggris melancarkan se¬rangan. Artileri Irak segera menanggapinya dengan menyerang lapangan terbang Habbaniya, sementara pesawat terbang Irak dari Baghdad membomi instalasi-instalasinya. Namun tidak ada keraguan mengenai hasil akhir dari pertempuran yang tidak seimbang ini. Angkatan Udara Inggris de¬ngan cepat membuktikan superioritasnya, dan perlawanan Irak pun mulai melemah. Selama malam hari tanggal 5 Mei, pasukan Arab menarik diri ke Al Falluja.
Intervensi Poros
Irak telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Jerman pada awal Perang Dunia II, tetapi tidak menyatakan perang. Ki¬ni, untuk mengamankan kedudukannya, kaum nasionalis Arab berpaling ke Berlin. Sebenarnya, pada tanggal 20 Januari 1941, sang Mufti telah mengirimkan sepucuk surat kepada Hitler yang berisi keinginan kaum nasionalis Arab untuk memperoleh dukungan politis dari kekuatan Poros bagi pem¬bentukan sebuah negara Arab Raya yang meliputi Afrika Utara dan sebelah timur Laut Tengah maupun pasokan senjata. Sebagai imbalannya, orang Arab menawarkan posisi istimewa bagi pihak Poros berkenaan dengan industri minyak di Irak serta diperluasnya pemberontakan anti-Inggris di kalangan orang Arab.
Setelah mengadakan sua¬tu konferensi pada tanggal 6 Mei 1941, Komando Tertinggi Wehrmacht memutuskan un¬tuk memberikan kepada Irak semua ban¬tuan yang memungkinkan serta mengintensifkan peperangan melawan Inggris di Timur Te¬ngah. Hubungan diplomatik antara Reich Ketiga dan Irak dibuka kembali. Bekas duta besar Jerman untuk Irak, Dr. Grobba, kembali ke Baghdad. Sekalipun demikian, satu-satunya dukungan langsung dan ber¬sifat segera yang dapat diberikan Jerman untuk mendukung rezim Ali adalah dalam bentuk angkatan udara. Sebuah skuadron pesawat pemburu Me-110 dan sebuah skuadron pesawat pembom He-111 disediakan untuk tujuan ini. Selain itu, 750 ton persenjataan dan amunisi siap diberangkatkan ke Irak. Berbagai rencana juga dibuat untuk mengirimkan sebuah misi militer Jerman ke Baghdad sementara setelah perundingan yang alot Pemerintah Vichy Prancis* memberikan izin kepada Jerman untuk mendaratkan pesawat terbang di lapangan-lapangan ter¬bang Prancis di Syria serta menyatakan kesediaannya untuk mem-berikan senjata dan amunisi dari gudang milik Tentara Prancis di kawasan Levant kepada Irak.
Skuadron pesawat pembom Luftwaffe mendapatkan perin¬tah untuk terbang ke Syria pada tanggal 8 Mei. Unit ini telah bersiap di Pulau Rhodes di lepas pantai Turki, karena Luftwaffe bermaksud menggunakan pesawat-pesawat terbang itu untuk membom Te¬rusan Suez.
Para personel Luftwaffe mendapatkan seragam dan perleng¬kapan tropis saat kembali dari perjalanan tersebut di Lapangan Terbang Tatoi di utara Athena. Para pilot mendapatkan taklimat yang buruk, karena keadaan yang mendesak dan tiadanya berita dari Irak. Namun, pesawat-pesawat pembom Jerman tersebut di¬pe¬nuhi dengan amunisi, ransum, tenda, dan suku cadang serta segera diterbangkan ke tujuannya. Terbang lewat Athena dan Rhodes, mereka mendarat di Damaskus pada tanggal 12 Mei, di mana mereka telah didahului oleh pesawat-pesawat Me-110.
Pertempuran di Gurun Pasir
Pada tanggal 15 Mei, pihak Jerman mela¬ku¬kan suatu penerbangan pengintaian pertama di atas Irak. Hal ini diikuti oleh pemboman terhadap Habbaniya pada hari berikutnya. Secara keseluruhan, enam serangan pemboman dilancarkan ter¬hadap pangkalan udara Inggris tersebut. Kemu¬dian pesawat-pesawat pembom itu harus menghentikan se¬rang¬annya, sebagian karena Angkatan Udara Inggris telah meng¬hancurkan sejumlah pe¬sawat terbang Jerman di darat maupun karena kematian Mayor von Blomberg, anak bekas menteri peperangan Hitler. Perwira ini ditugaskan untuk mengoor¬di¬na¬sikan aktivitas skuadron-skuadron udara Poros dengan pa¬sukan Irak. Namun, tepat pada saat pesawat terbangnya hendak mendarat di lapangan terbang Baghdad, Mayor von Blomberg tewas akibat tembakan penangkis serangan udara Irak. Akibatnya, tidak ada kontak antara pihak Jerman dan Irak.
Di selatan, Inggris mengerahkan bala bantuan dari Palestina, Trans¬yordan, dan India. Pada tanggal 19 Mei, mereka merebut Al Falluja dan sebuah jembatan di atas Sungai Eufrat. Pasukan Irak melancarkan serangan balasan yang sengit, merebut kembali kota itu pada tanggal 22 Mei, tetapi kemudian kehilangan kota ter¬sebut lagi saat Inggris memperbarui serangannya. Selama be¬berapa hari pasukan Inggris terhenti akibat banjir buatan, tetapi pada tanggal 30 Mei, mereka bergerak dalam dua barisan di ba¬wah komando Mayor Jenderal Clark hingga mencapai ping¬giran Baghdad. Total kekuatan pasukan Inggris adalah 1.200 pra¬¬jurit, 8 pucuk meriam, dan beberapa kendaraan lapis baja.
Runtuhnya Perlawanan Irak
Pihak Irak memiliki sebuah divisi yang ditempatkan di ping¬giran ibu kota, tetapi mereka tidak berusaha mengerah¬kan¬nya. Karena Inggris berhasil menguasai udara, para komandan Irak yang terkejut tidak mampu mengadakan perlawanan. Pa¬da-hal, me¬reka memiliki kesempatan yang sangat baik untuk memberikan pukulan terhadap pasukan Inggris di Habbaniya, tetapi gagal mela¬kukannya. Kekalahan yang mereka derita di Al Falluja membuat mereka patah semangat.
Dengan demikian, pemberontakan Irak pun berakhir. Ketika pemerintah Irak melarikan diri ke Iran, walikota Baghdad menyerah ke¬pada pasukan Inggris. Pada tanggal 31 Mei 1941, bekas wali negeri Irak yang pro-Inggris, Abdul Illa, kembali dari peng¬asing¬annya dan membentuk sebuah pemerintahan baru.
Sementara itu, Inggris mendapatkan alasan baik untuk menyer¬bu Syria karena Jerman mendapatkan peminjaman se¬men-tara atas sejumlah pangkalan udara milik Prancis dan ada¬nya kemungkinan bahwa pasukan Jerman menyusup ke dalam negeri itu. Menuduh pemerintah Vichy telah menyerah pada tekanan Poros di Syria, pa¬sukan Inggris dan Prancis Merdeka menyerbu negeri itu dari Pa¬lestina, Transyordan, dan Irak pada tanggal 8 Juni. Pada tanggal 21 Juni, mereka merebut Damaskus, ibu kota Syria. Setelah itu, bersama Stalin, Inggris kemudian menyerbu Iran untuk menggulingkan Shah yang pro-Poros dan menjadikan negeri itu sebagai basis untuk mengirimkan bantuan Sekutu kepada Uni Soviet yang sedang diserang Jerman. Akibat serangan itu sendiri, dua pentolan pemberontakan di Irak, Rashid Ali dan Mufti Yerusalem, melarikan diri ke Berlin, di mana mereka menghabiskan waktunya untuk membantu usaha-usaha perang Poros hingga berakhirnya Perang Dunia II.
Untuk mengetahui kisah kisah ini lebih lanjutkan silakan melihatnya di sini: